Pengusaha Rokok di Sumenep Ibarat 'Rot Sorot Gentong': Mengkilap di Luar, Keropos di Dalam

Foto: Udiens Nyelonong
62
ad

Oleh     :   Udiens Nyalonong

OPINI- Di balik gemerlap industri rokok di Kabupaten Sumenep, terdapat realitas kelam yang tak lagi bisa disangkal. Bisnis yang tampak makmur ini ternyata menyimpan kebusukan yang sistemik, terorganisir, dan dibiarkan mengakar.

Ungkapan "rot sorot gentong" menggambarkan dengan tepat wajah para pengusaha rokok ilegal di daerah ini. Mereka terlihat sukses dari luar—pabrik beroperasi, tenaga kerja terserap, bahkan sumbangan sosial mengalir deras—tapi sebenarnya rapuh dan penuh tipu daya.

Sebagian besar dari mereka menjalankan usahanya secara ilegal. Produksi dilakukan tanpa izin resmi, distribusi tanpa cukai, dan pemasaran tanpa etika. Negara pun dirugikan hingga miliaran rupiah setiap tahunnya akibat ulah segelintir orang tamak.

Yang lebih menyakitkan, mereka justru dielu-elukan oleh sebagian masyarakat. Karena dianggap dermawan, aktif dalam kegiatan keagamaan, dan suka berbagi. Padahal semua itu dilakukan untuk menutupi jejak kecurangan mereka yang merusak sistem.

Uang haram dari rokok ilegal dipoles seolah menjadi berkah. Mereka mendanai pembangunan musala, menyumbang saat Ramadan, bahkan jadi donatur acara-acara desa. Sayangnya, masyarakat jarang menanyakan asal-muasal uang yang dibagi itu.

Kondisi ini menunjukkan betapa lemahnya kesadaran publik terhadap keadilan ekonomi dan integritas hukum. Ketika pelanggar justru dimuliakan, maka hancurlah nilai moral dan kejujuran di tengah masyarakat.

Celakanya, aparat penegak hukum pun tampak gamang dan penuh kompromi. Kasus pelanggaran cukai ibarat gunung es—tampak kecil di permukaan, namun membesar di dalam sistem. Ada rasa takut, atau mungkin kenyamanan dari pembiaran.

Di beberapa desa, keberadaan pabrik rokok ilegal sudah menjadi rahasia umum. Namun langkah tegas seolah hanya mimpi. Ketika warga melapor, tak jarang malah dianggap “mengganggu stabilitas”. Aparat yang seharusnya bertindak justru abai.

Ini bukan sekadar urusan cukai dan pemasukan negara. Ini soal integritas negara dalam menegakkan hukum dan menjamin keadilan. Jika pembiaran terus terjadi, maka hukum hanya akan jadi alat formalitas, bukan pelindung masyarakat.

Hukum yang tumpul ke atas namun tajam ke bawah adalah bentuk pengkhianatan terhadap prinsip negara hukum. Ketika rakyat kecil diburu karena kesalahan kecil, sementara pengusaha besar dilindungi karena kekayaan, keadilan telah mati.

Rokok ilegal bukan hanya soal pajak yang tak dibayar. Ia adalah perusak pasar. Produk-produk resmi yang taat aturan tersingkir karena kalah harga. UMKM jujur pun terancam bangkrut karena tak mampu bersaing dengan sistem kotor ini.

Lebih jauh, pembiaran terhadap bisnis ilegal akan menciptakan budaya baru: membenarkan kesalahan demi keuntungan. Anak-anak muda pun tumbuh dengan contoh buruk—bahwa jalan pintas lebih menguntungkan daripada kerja keras.

Pemerintah daerah semestinya sadar bahwa efek domino dari bisnis ilegal ini sangat luas. Mulai dari ketimpangan ekonomi, pelemahan hukum, hingga kerusakan moral generasi muda. Ini bukan sekadar soal ekonomi lokal, tapi soal masa depan daerah.

Sumenep sebenarnya memiliki potensi besar di bidang pertanian, perikanan, dan pariwisata. Namun sayangnya, perhatian lebih besar justru tercurah pada bisnis rokok yang penuh kontroversi dan sarat kepentingan pribadi.

Ironisnya, banyak pengusaha rokok ilegal yang masuk ke dalam lingkaran kekuasaan lokal. Mereka diduga ikut bermain dalam proses politik, membiayai kampanye, bahkan menyusupi kebijakan melalui jalur “kedekatan” dengan pengambil keputusan.

Ketika bisnis ilegal menyatu dengan kekuasaan, maka rakyat hanya jadi penonton. Setiap laporan masyarakat bisa dibungkam, setiap kebijakan bisa diarahkan, dan setiap kecurangan bisa dimaklumi. Inilah bahaya utama dari oligarki lokal.

Kita tak bisa berharap banyak dari regulasi jika pelaksanaannya tumpul. Sebab, hukum tanpa keberanian hanyalah teks kosong. Yang dibutuhkan sekarang adalah integritas dan ketegasan dari aparat, serta keberpihakan nyata pada kepentingan publik.

Sumenep butuh pengusaha rokok yang jujur, yang patuh aturan, dan bersedia berkontribusi secara legal pada daerah. Bukan mereka yang bersembunyi di balik kabut asap dan manipulasi sosial. Apalagi jika terus-menerus mengandalkan citra baik semu.

Sebagian dari mereka mungkin berdalih bahwa mereka membantu rakyat kecil lewat lapangan kerja. Tapi pekerjaan yang dibangun di atas pelanggaran adalah ketidakadilan baru. Itu bukan solusi, tapi jebakan bagi masyarakat miskin.

Alih-alih membuka masa depan cerah, sistem semacam ini justru memperpanjang ketergantungan masyarakat pada ekonomi abu-abu. Sumenep akan sulit tumbuh jika terus dibebani oleh sistem gelap yang menyamar sebagai penyelamat.

Kita perlu menumbuhkan budaya kritis di tengah masyarakat. Jangan hanya menilai dari seberapa banyak sumbangan seseorang, tapi lihat pula dari mana asal kekayaan itu. Integritas sosial harus dibangun dari kejujuran, bukan dari pencitraan.

Media, organisasi masyarakat sipil, dan kampus juga harus terlibat aktif dalam mengedukasi publik soal bahaya rokok ilegal. Kita tak bisa terus-menerus menyerahkan masalah ini pada pemerintah, apalagi jika pemerintahnya sendiri ikut bermain.

Anak muda harus jadi motor perubahan. Mereka harus diberi ruang berpikir kritis, diberi akses informasi, dan diajak membangun masa depan tanpa ketergantungan pada bisnis curang. Edukasi menjadi benteng utama melawan narasi palsu para pelanggar.

Rot sorot gentong hanyalah metafora. Tapi ia telah menjelma menjadi kenyataan pahit di Sumenep. Tampak megah dari luar, padahal hancur di dalam. Kita tak boleh membiarkan penipuan ini berlangsung lebih lama.

Apakah kita akan terus mendiamkan kerakusan ini? Atau akan mulai menyuarakan perlawanan dengan cara-cara yang beradab? Pilihannya kini ada di tangan kita semua—warga, pemimpin, aparat, dan terutama hati nurani.

Sumenep butuh keberanian baru. Bukan sekadar keberanian menindak, tapi juga keberanian melawan budaya permisif. Keberanian untuk berkata bahwa yang salah tetap salah, meski ia tampak berjasa.

Jika tidak, negeri ini akan seperti gentong bocor. Nampak utuh dari luar, namun tidak mampu menampung harapan dan cita-cita. Kita akan kehilangan masa depan hanya karena membiarkan segelintir orang menjarah yang seharusnya menjadi milik bersama.

Penulis     :    adalah Udiens Nyelonong Redaksi MEMO online

ad
THIS IS AN OPTIONAL

Technology

MEMOonline.co.id, Jember- Satuan Reserse Narkoba Polres Jember menangkap dua puluh tujuh pelaku yang terlibat dalam jaringan peredaran narkotika...

MEMOonline.co.id, Lumajang- Pria Inisial 'B' oknum perangkat desa di Kecamatan Klakah, terduga maling sapi ditembak polisi. Ia digelandang...

MEMOonline.co.id, Sumenep- Tidak main-main, Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Kabupaten Sumenep, siap mengajak Bea Cukai Madura melakukan...

MEMOonline.co.id, Sumenep- Bupati Sumenep menegaskan pentingnya kehadiran peraturan daerah (perda) yang mampu menjadi pedoman teknis dalam...

MEMOonline.co.id, Sumenep- Tradisi agung Jamasan Keris yang selama ini menjadi denyut budaya lokal di Madura, kini didorong menembus panggung budaya...

Komentar