
MEMOonline.co.id, Jakarta - Sebelum era reformasi, rezim orde baru dengan gaya kepemimpinan militeristik ala Presiden Soeharto cenderung membangun kebijakan pembangunan nasional yang bersifat top down, dimana kebijakan pembangunan di tentukan dan dilaksanakan dari pusat ke daerah.
Akibatnya, kebijakan pembangunan tersebut sulit menjawab kebutuhan grass roots society (masyarakat akar rumput) di setiap daerah.
Dengan pola pembangunan nasional yang hanya terpusat di Jawa, membuat disparitas pembangunan sangat mencolok di kawasan Indonesia Timur.
Ditambah lagi monopoli sumber daya alam dan pasar komoditi dari kelompok dan kartel oligarki rezim orde baru, semakin memperlebar jurang kesenjangan pembangunan Indonesia di wilayah Timur dengan yang terpusat di pulau Jawa.
Namun rezim kepemimpinan Soeharto pada akhirnya tumbang melalui gerakan reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa tahun 1998.
Sekalipun perjuangan menggulingkan rezim orde baru kala itu harus dibayar mahal dengan darah dan air mata melalu tragedy Trisakti 1998 dan peristiwa-peristiwa lainnya dengan korban darah pada tahun-tahun sebelumnya.
Kemudian melahirkan era baru yang disebut dengan era reformasi yang sejatinya memperjuangkan kehidupan berdemokrasi bermartabat yang sebelumnya terpasung oleh tirani era orde baru.
Di masa reformasi terjadilah perubahan sistem manajemen pembangunan nasional ketika di keluarkannya dua kebijakan tentang Otonomi Daerah oleh pemerintah, yaitu UU No.22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah dan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sebuah jal yang menjadi jawaban dari masalah ketimpangan pembangunan di masa orde baru.
Kebijakan otonomi daerah memberikan ruang longgar setiap daerah dapat melangsungkan aktivitas pembangunan daerah sesuai garis peraturan yang berlaku.
Agar supaya pelaksanaan otonomi daerah tidak kebablasan, maka pemerintah melakukan beberapa revisi pada UU No.22 Tahun 1999 yang kemudian dikenal dengan UU No.32 Tahun 2004.
Untuk mengatur keuangan daerah, pemerintah mengeluarkan UU No.33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Melalui kebijakan ini, daerah diberikan kewenangan untuk membuat kebijakan dalam memberikan pelayanan, peningkatan peran serta prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Berbeda situasinya dengan Papua, sejak rezim orde baru (bahkan hingga kini masih sering ditemukan) masyarakat Papua kerap kali mengalami peminggiran, diskriminasi, termasuk minimnya pengakuan atas kontribusi dan jasa Papua bagi Indonesia serta tidak optimalnya pembangunan infrastruktur sosial di Papua seperti pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan rendahnya keterlibatan pelaku ekonomi Orang Asli Papua (OAP).
Realitas dari proses integrasi politik, ekonomi dan sosial budaya yang belum tuntas serta siklus kekerasan politik yang masih belum tertangani dengan tuntas (bahkan cenderung meluas) masih menjadi rentetan masalah bagi masyarakat Papua.
Belum lagi dengan kasus-kasus pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) bagi masyarakat Papua yang masih belum tuntas terselesaikan.
Jika di masa orde baru kawasan Indonesia Timur hanya mengalami marginalisasi pembangunan yang memprihatinkan, maka di Papua tak hanya marginalisasi pembangunan tapi juga terjadi kriminalisasi HAM (Hak Asasi Manusia) yang jauh lebih memprihatinkan.
Oleh karena itu, untuk menyelesaikan masalah kompleks di Papua, maka Pemerintah pusat mengeluarkan UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa dana Otsus Papua dihitung sebesar 2% dari plafon anggaran DAU (dana alokasi umum) yang berlaku selama 20 tahun sejak peraturan otsus diterbitkan.
Hal ini dimaksudkan agar terjadi pemerataan pembangunan yang adil dan beradab bagi masyarakat di Papua.
Masalah Papua di kawasan Indonesia Timur hingga hari ini menjadi masalah sensitive dan membutuhkan pendekatan serta perlu ada solusi terbaik bagi masyarakat Papua.
Grace Olivia dalam ulasan artikelnya pada 25 Februari 2020 yang dimuat www.kontan.co.id mengatakan sejak tahun 2002, Pemerintah pusat telah menyalurkan dana otonomi khusus untuk Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua mencapai Rp. 126, 99 triliun.
Sepanjang periode 2002-2020, Kementerian Keuangan mencatat penyaluran dana Otsus ke Provinsi Papua mencapai angka Rp 93,05 Triliun dan Provinsi Papua Barat sebesar Rp 33,95 Triliun.
Di luar itu, kedua provinsi tersebut juga menerima transfer daa ke daerah serta dana desa (TKKD). Nilai TKKD per kapita untuk Papua Barat dan Papua adalah yang tertinggi dibandingkan dengan daerah pembanding lainnya.
Reportase yang di rilis oleh media www.tempo.co dalam artikel bertajuk Bagaimana Masa Depan Papua Setelah Dana dan Status Otonomi Khusus Berakhr? pada tanggal 10 Maret 2020 memberikan data yang menarik atensi untuk kita kaji bersama.
Data terakhir dari Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional menunjukan pertumbuhan ekonomi Papua di kwartal terakhir 2019 terkontraksi -15,72%, atau dengan kata lain, ekonomi Papua tidak bertumbuh.
Masih banyak masalah kompleks yang terkait impementasi kebijakan Otsus Papua untuk menjadi kebijakan solutif antara para elit pemimpin dan masyarakat Papua serta Pemerintah Pusat.
"Di era kepemimpinan Presiden Jokowi, perhatian Pemerintah Pusat terhadap pembangunan untuk memajukan Kawasan Indonesia Timur seperti mendapatkan angin segar," ujar Dominggus Yable, Bacalon DPR RI Dapil Papua Barat Daya ini, Minggu (5/2/2023) malam.
Komitmen pembangunan yang mengubah konsep Jawa Sentris menjadi Indonesia Sentris, lanjut Dominggus, memberikan sebuah harapan baru akan berkembangnya pembangunan di Kawasan Indonesia Timur.
Sekalipun masih banyak dijumpai kendala dan kelemahan yang masih perlu dibenahi.
"Program Nawacita Jilid II Jokowi yang tepat dengan komitmen membangun Indonesia dari Timur yang ditandai dengan masifnya pembangunan berbagai infrastruktur public dari Papua dan wilayah lainnya dalam Kawasan Indonesia Timur," terang Dominggus yang juga Ketua Repdem Provinsi Papua Barat itu.
"Komitmen pemerintah pusat ini harus kita apresiasi dan harus kita kawal bersama agar komitmen ini akan tegak lurus dari pemerintah pusat hingga ke pemerintah lokal," tambahnya.
"Dengan demikian semua lapisan masyarakat akan menikmati manfaat maksimal dari adanya kebijakan pemerataan dan pertumbuhan pembangunan di Kawasan Indonesia Timur," tukas Dominggus.
"Dan tentunya, pengelolaan kebijakan dan anggaran pembangunan akan bertumpu pada empat komitmen utama, yaitu pro rakyat, pro transparansi, anti KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) dan pro transformasi nasional," pungkas Dominggus Yable yang Aktivis Asal Tanah Papua ini.
Penulis : Bambang
Editor : Udiens
Publisher : Syafika Auliya