Mewujudkan Keadilan Substansial Melalui Pemberantasan Mega Korupsi dan Penerapan Restorative Justice

Foto: Jaksa Agung Prof. Dr. H. Sanitiar Burhanuddin, S.H., M.M., M.H., saat webinar nasional, Jum'at (18/3/2022).
1505
ad

MEMOonline.co.id. Jakarta  - Kejaksaan Republik Indonesia kembali menunjukkan komitmennya dalam penegakan hukum di Indonesia. Komitmen tersebut ditunjukkan dengan terobosan yang tidak hanya berada dalam tataran konseptual, namun juga perlahan dapat terealisasi. Terobosan penegakan hukum yang paling signifikan adalah pemberantasan korupsi dan penerapan restorative justice.

GMKI menilai setidaknya terdapat beberapa catatan terobosan, sebagai berikut:

Pertama, dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, yang paling mendapatkan perhatian masyarakat adalah tuntutan seumur hidup dan hukuman mati yang diterapkan dalam skandal mega korupsi Jiwasraya dan Asabri.

Berdasarkan penelusuran GMKI, sepanjang sejarah Indonesia, baru pada kepemimpinan Jaksa Agung ST Burhanudin saat ini Kejaksaan berani mengajukan tuntutan mati terhadap terdakwa kasus tindak pidana korupsi. GMKI berpendapat dalam perkara ini, keberanian Kejaksaan patut diapresiasi.

Hal itu menandakan Kejaksaan telah menerapkan hukum tidak hanya tajam ke bawah, namun juga tetap tajam ke atas. Selain itu, upaya penyelamatan dan recovery kerugian negara yang dilakukan oleh Kejaksaan juga sangat signifikan. Tercatat sepanjang tahun 2021, Kejaksaan RI menangani 1.852 kasus korupsi dan menyelamatkan Rp21,2 Triliun dan mengeksekusi pidana badan sebanyak 935 terpidana.

Sekalipun keberanian Kejaksaan itu patut diapresiasi, namun GMKI menekankan agar Kejaksaan dapat melihat setiap perkara secara proporsional. Kejaksaan memiliki beban untuk dapat membuktikan bahwa tindak pidana itu memang benar terjadi, dan si pelaku memang memiliki niat untuk melakukannya. Kejaksaan yang juga memiliki fungsi penyidikan dalam perkara tindak pidana korupsi sekiranya tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam melaksanakan setiap Langkah penyidikannya. Selain upaya pemberantasan korupsi melalui tindakan pro justisia, Kejaksaan juga diharapkan dapat menjadi salah satu Lembaga yang memiliki peran sentral dalam pencegahan tindak pidana korupsi.

Kedua, penerapan restorative justice, yang juga turut meningkatkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum. Keadilan restoratif (restorative justice) diatur dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Sejatinya, keadilan restoratif bertujuan untuk memberdayakan para korban, pelaku, keluarga dan masyarakat untuk memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum dengan menggunakan kesadaran sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat. Sederhananya, Keadilan restoratif menitik beratkan pada pemulihan korban, dan penebusan kesalahan pelaku tindak pidana dengan upaya perdamaian tanpa harus membawa perkara tersebut ke pengadilan. Harapannya permasalahan hukum yang timbul akibat terjadinya tindak pidana dapat diselesaikan dengan baik dengan tercapainya persetujuan dan kesepakatan diantara pelaku maupun korban.

Keadilan restoratif adalah pendekatan yang menggunakan kacamata hati nurani yang lebih menitikberatkan pada aspek keadilan dan kekeluargaan tanpa harus melewati proses peradilan di pengadilan pidana yang cenderung lama dan kontraproduktif.

Survei Kompas mencatat bahwa pendekatan keadilan restoratif lebih diterima oleh publik karena dinilai humanis dan cenderung menyelesaikan permasalahan dengan menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Suksesnya penyelesaian tindak pidana ringan dengan pendekatan keadilan restoratif memiliki peran yang signifikan terhadap meningkatnya kepercayaan masyarakat pada Kejaksaan.

Keadilan restoratif yang sudah dilakukan Kejaksaan menegaskan bahwa hukum tidak dipandang sebagai sarana untuk melakukan balas dendam. Sebaliknya, hukum dinilai memiliki fungsi yang lebih penting untuk merehabilitasi dan mengembalikan korban pada keadaan semula melalui jalur perdamaian yang dilakukan tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi. Kejaksaan melaksanakan pendekatan keadilan restoratif berdasarkan pada asas keadilan, kepentingan umum, dan proporsionalitas dimana upaya pidana dipandang sebagai jalan terakhir penyelesaian perkara.

Namun demikian, penerapan pendekatan keadilan restoratif tetap perlu pengawasan yang ketat. Hal ini diperlukan, agar sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kemanfaatan hukum yang hendak dicapai. Dengan demikian, penerapannya tidak dilakukan secara subjektif yang berpotensi mencederai tujuan baik dari pendekatan keadilan restoratif itu sendiri dengan melanggar moralitas kemanusiaan (moral hazard).

Agar penerapan keadilan restoratif kiranya tetap dapat didudukkan pada semangat awalnya, pengawasan terhadap penerapan kebijakan ini menjadi hal yang tidak kalah pentingnya.

Salah satu Lembaga yang bertugas untuk mengawasi kinerja Kejaksaan adalah Komisi Kejaksaan. Sebagai lembaga non struktural yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat mandiri dan tetap bertanggung jawab kepada Presiden, Komisi Kejaksaan memiliki peranan yang sangat strategis dalam melakukan pengawasan dan penilaian terhadap penerapan pendekatan keadilan restoratif agar tetap pada tujuan awalnya yang mulia. Demikian juga halnya dengan fungsi Komisi Kejaksaan untuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap Jaksa yang menangani permasalahan tindak pidana korupsi.

Untuk mencegah adanya praktik yang bertentangan dengan hukum dalam menindaklanjuti perkara pidana, Komisi Kejaksaan memiliki peran penting dalam mengawasi kinerja Jaksa.

Misi penting yang diemban oleh Komisi Kejaksaan dalam pengawasan kinerja Kejaksaan kiranya perlu tetap dilakukan agar prestasi baik yang telah diukir oleh Kejaksaan RI dalam pemberantasan korupsi dan penerapan restorative justice yang saat ini gencar dilakukan tetap sesuai dengan nilai- nilai keadilan yang humanis.

Untuk tetap memaksimalkan dua prestasi baik sebagaimana disebutkan di atas, Kejaksaan memerlukan kehadiran Komisi Kejaksaan untuk memastikan bahwa penegakan hukum mengenai tindak pidana korupsi dan pendekatan keadilan restoratif tidak menjadi bias dan transaksional, melainkan murni untuk penegakan hukum semata.

Dari catatan-catatan tersebut, GMKI menyerukan hal-hal sebagai berikut:

-GMKI berharap agar Kejaksaan tetap mempertahankan ritme yang sudah berjalan saat ini, terutama dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

-GMKI meminta agar dalam penanganan tindak pidana korupsi Kejaksaan dapat memprioritaskan pemulihan kerugian negara, dan tidak semata-mata menekankan pada tuntutan hukuman badan.

-Selain melakukan penindakan, GMKI berharap agar Kejaksaan dapat menjadi Lembaga yang sentral dalam pencegahan tindak pidana korupsi.

-GMKI meminta agar Kejaksaan juga memperkuat komitmen individu para jaksa dalam pemberantasan korupsi. Untuk menjaga komitmen itu, maka perlu diberlakukannya mekanisme kinerja berbasis punish and reward yang ketat.

-Dalam penerapan restorative justice, GMKI sependapat bahwa penegakan hukum juga wajib mengedepankan hati nurani.

Namun demikian, untuk mencegah disparitas penerapan restorative justice, GMKI menyarankan agar penerapan restorative justice tetap harus memiliki parameter yang lebih rigid.

Penulis      :   Bambang

Editor        :   Udiens

Publisher  :  Isma

ad
THIS IS AN OPTIONAL

Technology

MEMOonline.co.id, Sumenep- Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) Cabang Sumenep menggelar kegiatan pendadaran serentak untuk menguji kesiapan mental...

MEMOonline.co.id, Sampang- Masa kepengurusan Persatuan Wartawan Sampang (PWS) periode 2023–2025 akan segera...

OPINI- Di balik gemerlap industri rokok di Kabupaten Sumenep, terdapat realitas kelam yang tak lagi bisa disangkal. Bisnis yang tampak makmur ini...

MEMOonline.co.id, Jember- Satuan Reserse Narkoba Polres Jember menangkap dua puluh tujuh pelaku yang terlibat dalam jaringan peredaran narkotika...

MEMOonline.co.id, Lumajang- Pria Inisial 'B' oknum perangkat desa di Kecamatan Klakah, terduga maling sapi ditembak polisi. Ia digelandang...

Komentar