
MEMOonline.co.id, Bangkalan - Kasus kekerasan terhadap perempuan belakangan marak terjadi. Namun, hingga kini Bangkalan belum memiliki rumah aman untuk memberikan perlindungan fisik maupun psikis untuk para korban kekerasan tersebut.
Psikolog sekaligus Koordinator Pendamping Psikologi Perempuan dan Anak (PPPA) Bangkalan, Dr Mutmainnah mengatakan, sejak awal mula ia melakukan pendampingan hingga saat ini, para korban menempati rumah pribadinya yang ia gunakan untuk shelter para korban.
"Kita belum miliki rumah aman yang betul-betul melindungi para korban. Selama ini korban saya bawa kerumah agar bisa saya pantau perkembangan psikisnya setiap waktu. Bahkan ada yang hampir setahun. Saking korban merasa tidak aman ada diluar," tuturnya, Sabtu (11/7/2020).
Mut sapaan akrabnya mengatakan, korban kekerasan harus memiliki rumah aman sesuai Perda nomor 6 tahun 2009 yang menyatakan daerah wajib memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan utamanya anak dan perempuan. Mut mengatakan, rumah aman tersebut harus dijaga ketat dan tidak sembarang orang bisa masuk.
"Aksesnya tidak bebas untuk publik. Hanya polisi dan petugas yang bisa masuk. Fasilitas kesehatan baik mental ataupun fisik harus ada. Kita belum punya itu," lanjutnya.
Sementara itu, R. Amina Rachmawati, Kepala DKBP3A Bangkalan mengaku telah memiliki rumah aman yang menjadi satu bersama dinas sosial. Meski begitu, rumah tersebut ditempati anak jalanan dan perlu perbaikan.
"Ada di dinsos, memang perlu rehab dan ditempati anak jalanan," tuturnya.
Sebelumnya terjadi pemerkosaan bergilir oleh 7 pemuda di kecamatan Kokop hingga menyebabkan korban melakukan aksi bunuh diri. Diketahui, kasus pemerkosaan di Bangkalan banyak tidak dilaporkan sebab terganjal peraturan adat yang menyelesaikan permasalahan tersebut secara kekeluargaan. Selain itu, tidak sedikit pula masyarakat yang takut melakukan pelaporan sebab ancaman teror dari pelaku. (Yis)