
Oleh: Mohamad Rohman
MEMOonline.co.id, Bekasi - Tidak bisa dipungkiri, dana BOS atau Bantuan Operasional Sekolah bisa dianggap sebagai ‘durian runtuh’ yang amat ditunggu, karena aroma dan rasanya amat lezat dan menggiurkan.
Dengan proses pencairannya yang agak lumayan ribet serta melalui jenjang hirarkis kedinasan yang melibatkan banyak orang atau pejabat, maka tak tertutup kemungkinan, yang ikut pesta durian bukan hanya pihak sekolah, tapi juga si Bos yang memberikan rekomendasi dan menandatangani pencairannya.
Jangan baper ya. Banyak dugaan korupsi atau penyalahgunaan dana BOS terjadi di sejumlah daerah. Salah satu contoh kasusnya terjadi di Bumiayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.
Sebagaimana dilansir oleh detik.com,17 Oktober 2018, Kajari Brebes telah menahan Suhirman dan Sugiarto, Kepala Sekolah dan Wakil Kepala Sekolah SMK Kerabat Kita, meski keduanya telah mengembalikan uang negara sebesar Rp. 594.300.700.
Dana BOS yang disalah-gunakan sebanyak Rp. 4.963.680.000. Dana itu merupakan bantuan selama tiga tahun anggaran dari mulai 2015 sampai 2017. Rincian bantuan BOS yang diterima masing masing tahun 2015 Rp. 1.333.200.000, tahun 2016 Rp. 1.740.200.000 dan tahun 2017 Rp. 1.890.280.000.
Uang yang dikembalikan itu, kata Transiswara, Kajari Brebes, merupakan uang yang dipakai untuk gaji 13 dan honor kegiatan yang tidak sesuai dengan juknis atau petunjuk teknis.
Juknis yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Sekolah. Untuk pencairan dana BOS tahun lalu, misalnya, Mendikbud telah menerbitkan Permendikbud No.1 Tahun 2018. Akibat penyalahgunaan dana BOS tersebut, negara dirugikan sebanyak Rp. 2.053.309.800.
Modus yang digunakan oleh pelaku ini adalah dengan memindahkan uang dari rekening giro ke rekening sekolah. Setelah uang pindah ke rekening sekolah, dana itu disalahgunakan dengan cara untuk membayar guru honorer, gaji 13, membeli tanah, pembangunan ruang kelas dan lainnya. Selain itu, ada pula dana yang dipakai untuk keperluan pribadi.
Sekitar sepuluh tahun lalu, terungkapnya penyalahgunaan dana BOS juga pernah terjadi di Kabupaten Bekasi, yaitu disebuah sekolah swasta elit di kawasan Lippo Cikarang. Berkat laporan orang tua murid, salah satu Wakaseknya diciduk oleh aparat saat jam belajar.
Beruntungnya, kedua kasus itu tidak menyeret para Bos atau atasan sang Kepala Sekolah, misalnya, Kepala Bidang dan Kepala Dinas Pendidikan, baik itu ditingkat Kabupaten maupun Provinsi.
Padahal, tentu saja pencairan BOS itu secara administrasi minimal harus sepengetahuan atau persetujuan para bos itu. Artinya, para bos itu telah melaksanakan tertib administrasi dan tertib hukum dalam melaksanakan kewenangannya.
Untuk ukuran satu sekolah, juga bagi pribadi oknum kepala sekolah dan anak buahnya, dana segar lebih dari 1 M rupiah setiap tahun saja bagaikan durian runtuh yang jatuh dari pohon, karena tanpa bercapai-capai ria atau bersusah payah naik pohon yang tinggi, duit milyaran itu datang dengan sendirinya, alias nge-glundung dari pemerintah. Enak kan ?
Sayangnya, kembali lagi ke cerita kasus penyelewengan dana BOS di Brebes itu, ‘cara main’ sang kepala sekolah cenderung, atau malah terlalu vulgar, kasar, dan sama sekali ‘tidak cantik’.
Misalnya menggunakan dana BOS untuk keperluan pribadi tanpa bisa membuat SPJ atau Surat Pertanggung-jawaban yang ‘cantik’.
Pertanyaannya, apakah kalau sekolah atau daerah yang tidak ditemukan adanya kasus korupsi atau penyalahgunaan dana BOS itu benar-benar menggunakan dana BOS itu sesuai peruntukkannya?
Jawabannya, maybe YES, maybe NO !!!
Kuncinya, adalah pada pelaporan atau pembuatan SPJ yang akuntabel alias ‘cantik’. Plus, tentu saja, harus ada ‘kekompakan’, tahu sama tahu, dan saling menerima ‘manfaat’ dengan berbagai pihak, baik secara internal maupun eksternal. Paham kan?
Karena seperti kita ketahui, banyak sekolah penerima dana BOS yang masih memungut SPP atau iuran bulanan dari para muridnya. Artinya, terjadi dualisme atau duplikasi pembiayaan operasional sekolah.
Nah, tentu saja, ada dana BOS lebih yang bisa ‘digeser’ ke para bos. Misalnya, sekolah swasta elit atau mahal yang masih menerima dana BOS. Logikanya saja, dari SPP murid saja sudah bisa lebih dari cukup untuk membiayai operasional dan kegiatan sekolah, termasuk untuk gaji guru. Masuk akal kan?
Peluang terjadinya korupsi dana BOS bisa juga terjadi karena kebutuhan sekolah swasta kecil yang benar-benar membutuhkan dana BOS. Kebutuhan yang mendesak dari sekolah-sekolah swasta ini tentu saja membuka peluang terjadinya penekanan atau permintaan tertentu dari para bos. Sekolah swasta yang ‘hidup segan mati tak mau’ pun mau tidak mau harus mengikuti ‘aturan main’ para bos.
Seperti diketahui, besaran dana BOS berdasarkan perhitungan jumlah siswa dan jenjang pendidikan.
Misal, untuk jenjang SMA atau SMK sebesar Rp.1.600.000,- per tahun dikalikan jumlah siswa. Kalau, misalnya jumlah siswa di sebuah SMK ada 1000 orang, berarti sekolah itu menerima dana BOS Rp.1,6 miliar per tahun.
Padahal jumlah siswa bisa berubah sewaktu-waktu, umpama, karena pindah sekolah atau secara administrasi jumlahnya tentu saja bisa ‘dipercantik’, asal sepengetahuan para bos.
Selain itu, beberapa komponen kegiatan yang didanai BOS secara kuantitatif dan kualitatif juga bisa ‘dipercantik’ untuk memenuhi kolom laporan penggunaan dana BOS.
Kalau semuanya bisa 'dipercantik', tentu saja akan terlihat ‘cantik’, dan secara hukum material maupun hukum formal, tidak akan ditemukan adanya dugaan korupsi atau penyalahgunaan dana BOS.
Yang penting semua HAPPY...bener gak bos? Hehehehe… (Bam/Diens).