Oleh: Yunanto
MEMOonline.co.id - Merasa tidak nyaman karena dilecehkan, itu hal wajar. Tersinggung, marah, menyatakan tidak terima karena dilecehkan, merupakan reaksi yang manusiawi pula.
Sederet rasa tidak mengenakkan tersebut merupakan indikator kesehatan nalar.
Maka setiap manusia yang sehat daya nalarnya pastilah punya harga diri. Nalar sehat itu pula yang "menjaga" harga diri dari segala bentuk tindakan destruktif.
Hanya manusia kurang waras yang tidak perduli pada harga dirinya. Lebih parah lagi, hanya orang tidak waras yang tidak punya harga diri. Itulah orang sakit jiwa (gila). Dibebaskan dari segala sanksi pidana meski terbukti melakukan tindak pidana pembunuhan sekalipun (Pasal 44 KUHP).
Begitu pula galibnya harga diri dalam sosok yang berprofesi sebagai wartawan, jurnalis. Hakikatnya sama dengan sosok pada profesi lain. Manakala merasa profesinya telah dilecehkan, wajar saja "menggeliat". Mereaksi dengan melakukan "tangkisan", bahkan "serangan balik".
Satu hal lagi yang juga wajar dan lazim terkait dengan profesi. Konkretnya, komunitas manusia dalam satu jenis profesi lazimnya memiliki jiwa korsa (korps satuan). Jadi, wajar pula bila komunitas wartawan "kompak tersinggung" bila profesinya dilecehkan.
* * *
Opini kedua.
Saya menerima kabar dari beberapa rekan jurnalis di Kota Batu, Munggu (26/5) malam. Inti wartanya, seorang jurnalis telah melapor ke Polres Batu. Ia melaporkan adanya perbuatan pelecehan terhadap profesi wartawan.
Sejumlah jurnalis "kompak" menyertai pelapor ke Mapolres Batu. Hari itu pula bertaburan publikasi ihwal "kasus" tersebut di sejumlah media online dan media massa cetak.
Tindak pelecehan profesi itu oleh pelapor dinilai sebagai "perbuatan melawan hukum" (onrecht matig daad). Dilakukan di sebuah medium WhatsApp (WA) grup. Berarti berwujud narasi tertulis. Unsur tersebar luasnya tindak pelecehan profesi dimaksud telah terpenuhi, karena dilansir lewat grup WA. Bukan japri (jaringan pribadi).
Meski perbuatan yang dinilai melecehkan profesi dilakukan secara tertulis, namun perbuatan dimaksud tidak masuk ke "rezim" Pasal 311 KUHP. Hal itu lantaran medium yang digunakan untuk melakukan perbuatan melawan hukum adalah media daring (dalam jaringan), yaitu grup WA.
Jadilah perbuatan yang patut dapat diduga telah dilakukan oleh terlapor masuk ranah "rezim" ITE.
Konkretnya, UU RI No. 11/Tahun 2008 sebagai mana telah diubah dengan UU RI No. 19/Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Populer dengan akronim UU ITE.
* * *
Opini ketiga.
Rekan-rekan jurnalis yang merasa memiliki jiwa korsa, harus bagaimana?
Saya beropini, hal pertama yang ideal dilakukan adalah berpola pikir, berpola sikap dan berpola tindak profesional rasional. Tidak perlu temperamental. Malah berpotensi kontraproduktif.
Di dalam pola pikir, pola tindak dan pola sikap profesional rasional tersebut haruslah ada muatan mawas diri, kontemplasi. Hal ini penting untuk menakar bobot akurasi serta bobot kualitas "aksi-reaksi" yang telah dan akan dilakukan pihak pelapor. Jangan sampai terjadi "menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri".
Dalam konteks tersebut ada baiknya pelapor "berkiblat" pada ketentuan Hukum Acara Pidana (UU RI No. 8/ Tahun 1981 tentang KUHAP).Hal mendasar, persiapkanlah secara cermat dan akurat ihwal alat bukti. Itulah "pondasi" laporan perkara pidana.
Dalam Pasal 42 UU ITE memang diatur, bahwa penyidikan thdp tindak pidana yg diatur dlm UU ITE dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Maka menjadi wajib bagi pelapor untuk berorientasi pada Ps 184,
ayat (1), Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentang alat bukti. Ingat, bukan barang bukti. Alat bukti dimaksud berjumlah lima. Rincinya, (1) keterangan saksi, (2) keterangan ahli, (3) surat, (4) petunjuk, (5) keterangan terdakwa.
Pasal 5, ayat (1, 2), UU ITE menyebutkan, informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya (print out) merupakan alat bukti dan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara Pidana (KUHAP).
* * *
Opini keempat.
Saya mendapat kabar dan membaca di sejumlah media online, bahwa pelapor telah melengkapi laporannya dengan alat bukti "print out" narasi yang dibuat oleh telapor di medium grup WA FWB. Itu berarti alat bukti yang dimaksud oleh Pasal 184, ayat (3), Hukum Acara Pidana (KUHAP), telah digenapi.
Lantas, di mana "lokasi" deliknya dalam ranah UU ITE?
Saya memprediksi ada di Pasal 28, ayat (2), UU ITE. Intinya, "barang siapa dengan sengaja menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa benci atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas SARA".
Kelompok jurnalis atau komunitas wartawan, dalam pemahaman saya, termasuk unsur pasal "kelompok masyarakat". Masuk pula unsur pasal "antar-golongan" dalam konitasi SARA.
Seandainya (sekali lagi seandainya) Pasal 28, ayat (2), UU ITE yang "dijeratkan" kepada terlapor, apa sanksi pidananya?
Sanksi dimaksud diatur di Pasal 45, ayat (2), UU ITE. Intinya, diancam pidana penjara maksimal enam tahun dan/atau denda maksimal Rp 1 miliar.
Saya optimistis, aparat penegak hukum di Polres Batu profesional. Penegakan hukum memang salah satu dari tiga tupoksi (tugas pokok dan fungsi) Polri sebagai mana diamanatkan dalam Pasal 13, ayat (2), UU RI No. 2/Tahun 2002 tentang Polri.
Kajian mendalam tentang "tindak pidana kasat mata" yang dilaporkan atau disangkakan (actusreus auto delictum) pastilah dilakukan. Begitu pula ihwal "motif yang membalut niat" melakukan tindak pidana (mensrea auto delictum) juga bakal dikaji mendalam.
Setelah semua prasarat yuridus lengkap, barulah melangkah ke "etape" gelar perkara. Sebuah "etape" untuk memastikan apakan suatu tindakan penyelidikan kepolisian bisa atau tidak bisa "naik" menjadi penyidikan serta menetapkan tersangkanya.
Saya mendapat kabar dari beberapa jurnalis di Kota Batu, bahwa terlapor telah meminta maaf kepada pihak pelapor. Bila informasi itu benar, maka meminta maaf adalah hal yang baik. Terlebih di bulan yang baik pula, Bulan Suci Ramadan.
Kendati demikian, dalam delik (tindak pidana) dikenal pula "aksioma", bahwa permintaan maaf tidak serta merta menghapus tindak pidana yang telah selesai (rampung) dilakukan.
* * *
Catatan Redaksi:
Penulis alumni Sekolah Tinggi Publisistik - Jakarta; wartawan Harian Sore "Surabaya Post" (1982-2002); Wakil Ketua "Lembaga Supremasi Media Indonesia" (2005-sekarang).