
MEMOonline.co.id, Bekasi - Dalam proses pembangunan jalan tol Becakayu, koordinasi antara desa Setiadarma dan Lambangsari memainkan peran penting. Salah satu topik utama yang dibahas adalah pemindahan makam yang berada di jalur pembangunan. Kesepakatan antara kedua desa ini tidak hanya merupakan langkah administratif, tetapi juga mencerminkan komitmen bersama untuk mencapai solusi yang memuaskan semua pihak yang terlibat.
Proses Penandatanganan Kesepakatan
Langkah awal yang krusial dalam proses ini adalah penandatanganan kesepakatan antara perwakilan desa Setiadarma dan Lambangsari. Kesepakatan ini melibatkan persetujuan resmi yang didokumentasikan dalam berita acara. Berita acara tersebut mencakup semua detail yang relevan, termasuk lokasi baru untuk pemindahan makam dan persetujuan dari nadzir yang memiliki hak waqaf atas tanah makam tersebut. Nadzir, sebagai pengelola tanah waqaf, memiliki peran penting dalam memastikan bahwa pemindahan dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan agama.
Dialog Terbuka untuk Menghindari Miskomunikasi
Koordinasi yang baik antara kedua desa diperlukan untuk menghindari miskomunikasi yang dapat menghambat proses pembangunan jalan tol. Melalui pertemuan reguler dan dialog terbuka, perwakilan dari kedua desa dapat memastikan bahwa semua pihak merasa nyaman dengan keputusan yang diambil. Kesepakatan yang dicapai menjadi dasar bagi langkah-langkah selanjutnya, termasuk pelaksanaan teknis pemindahan makam dan penyediaan fasilitas pendukung di lokasi baru.
Pandangan dari Camat Tambun Selatan
Pandangan dari Camat Tambun Selatan, Sopyan Hadi juga memberikan perspektif penting dalam proses ini. “Jadi kalau yang jalan tol Becakayu mungkin selesaikan dulu yang di Jatiandang karena kaitan yang makamnya. Ya itu kan harus disepakati dan ditandatangani oleh kedua pihak antara desa Lambangsari dan Setiadarma,” ujar Sopyan Hadi.
Dalam proses penyelesaian jalan tol Becakayu, lanjut Sopyan, usulan ganti rugi menjadi salah satu topik utama yang didiskusikan. Sejumlah warga minta ganti rugi dalam bentuk lahan pengganti, sementara yang lain lebih memilih kompensasi uang tunai. Beberapa warga menginginkan agar lokasi makam pengganti berada di desa mereka masing-masing. Hal ini menimbulkan tantangan, mengingat ketersediaan lahan kosong yang cocok untuk dijadikan makam pengganti cukup terbatas. Sopyan lebih setuju dengan ganti rugi dalam bentuk lahan daripada kompensasi uang. “Kalau saya sih bahasanya setuju jangan minta diganti uang. Diganti lahan aja kedua pihak itu,” tegasnya.
Penulis : Bambang
Editor : Udiens
Publisher : Syafika Auliyak